Rabu, 21 Desember 2011

AGAMA HINDU, ADAT, DAN UPACARA YADNYA


  
                       AGAMA HINDU, ADAT, DAN  UPACARA YADNYA
 Agama Hindu yang didasarkan atas Kitab Suci Veda, yaitu asas kebenaran mutlak yang harus diyakini secara utuh oleh umat Hindu.Karena pada dasarnya Kitab Suci Veda merupakan kitab yang memuat ajaran yang luhur dan mulia karena sumber segala  ilmu pengetahuan adalah bersumber dari kitab suci Veda, yang secara mutlak harus diyakini kebenarannya.Agama Hindu hendaknya menggunakan kitab Suci Veda sebagai pedoman dalam  melaksanakan segala bentuk gerak dan tingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Begitu banyak ajaran yang terdapat dalam Kitab Suci Veda yang mengatur bagaimana umat manusia dalam bertingkah laku, bertutur kata, dan berpikir tentang kebaikan.Sehingga dengan berpegang teguh pada ajaran kesucian yang ada dalam Veda akan mengantarkan umat manusia mencapai kesempurnaan tertinggi yaitu Moksa.

Salah satu disiplin ilmu yang mengajarkan tentang bagaimana manusia / umat hindu melaksanakan upacara berkorban adalah disebut dengan Kalpa.Dalam konsep Kalpa mengajarkan bagaimana manusia atau umat Hindu melaksanakan upacara yadnya atau kurban.Seperti yang disampaikan oleh Bharkaracharya, Wyakarana atau sabda adalah muka, Jiyotisa adalah mata, Nirukta adalah telinga, Siksa adalah hidung, Kalpa adalah tangan, dan Chanda adalah kaki dari Veda Purusa, Manusia Veda (Krishna Kumar, 1994 : 181).Jadi jelaslah bahwa pernyataan tersebut memiliki makna bahwa segala cabang ilmu yang ada didalam alam semesta ini adalah bersumber dari Veda itu sendiri.
Disini penulis akan mengkaji lebih jauh mengenai pentingnya pelaksanaan upacara kurban atau yadnya, karena dalam Veda dijelaskan bahwa :
                            Ayam yajήo bhuvansya nặbhih
                                                                                                    Yajurveda XXIII.62

                            “Pengorbanan (Yajṅa) ini adalah pusatnya alam semesta”

                            Ojasca  me, sahasca me, atma ca me,
                           Tanusca me, sarma ca me
                           Warma ca me, yajnena kalpantam
                                                                                                    Yajurveda XVIII.3

 “Dengan sarana persembahan (yajňa)” semoga kami memperoleh sifat-sifat yang berikut ini : kemuliaan, kejayaan, kekuatan rohaniah, kekuatan jasmaniah, kesejahteraan dan perlindungan

Jiotisca me, svasca me,
Yajnena kalpantam,
                                                                           Yajurveda XVIII.1
“Semoga kami mencapai pencerahan dan kebahagiaan dengan sarana pengorbanan (yajňa)”.

Svar yanto napeksanta
A dyam rohanti rodasi
                    Yajnam ye vi vatodaram
                     Suvidvamso vitenire
                                                                          Yajurveda XVII. 68
 “Para sarjana yang terkenal yang melaksanakan pengorbanan, mencapai kahyangan (sorga) tanpa suatu bantuan apapun. Mereka membuat jalan masuk mereka dengan mudah kekahyangan (sorga), yang menyebrangi bumi dan wilayah pertengahan”.

Uttistha brahmanapaste,
Devan yajnena bodhaya.
Ayuh pranam prajam pasun
Kirtim yajamanam ca vardhaya.
                                                                Atharvaveda XIX.63.1
“Ya Tuhan Yang Maha Esa, penguasa pengetahuan bangkitlah dan bangunkan para devata dengan sarana pengorbanan (yajna ). Tambahkan usia, daya hidup, keturunan, kekayaan, hewan dan kemasyuran. Buatlah para pelaksana yajna menjadi makmur”.

Udenam uttaram naya
Agne ghrtena huta.
Rayasposena sam srja
Prajaya ca bahum krdhi.
                                                               Yajurveda XVII.50
“Ya Sang Hyang Agni Yang Makmur, angkatlah pelaku yajna makin tinggi dan makin tinggi. Buatlah dia menjadi kaya dan jadikanlah dia seorang yang memiliki anak cucu yang banyak dan makmur”.

Tasyed arvanto ramhayanta asavas,
Tasya dyumnitamam yash.
Na tam amho Devakrtam kutascana
Na martya-krtam nasat.
                                                                        Rgveda VIII.19.6
 
“Dia yang melaksanakan Yajna dengan teratur, mendapatkan yang cepat geraknya. Kemashurannya yang mulia menyebar kemana-mana .Dia tidak pernah dipengaruhi oleh dosa-dosa mahluk suci dan mulia”.

Pengorbanan suci (yajna) merupakan sarana untuk mencapai kesempurnaan lahir dan bathin.Yajna artinya korban suci, yakni korban yang dilandasi oleh kesucian hati, ketulusan dan tanpa pamrih.Yajna mengandung pengertian yang sangat luas, jauh lebih luas dibandingkan dengan pengertian upacara atau upakara. Yajna merupakan pusat dari alam semesta, karena Tuhan Yang Maha Esa menyatakan bahwa alam semesta ini diciptakan oleh dasar Yajna, keiklasan-Nya selanjutnya Beliau bersabda supaya setiap umat manusia mengikuti jejak-Nya.Orang yang tekun melaksanakan yajna akan memperoleh pencerahan bathin. Demikian pula dalam kehidupan modern, donor darah atau donor organ tubuh dapat disebut sebagai yajna yang utama. Berangkat dari beberapa sloka yang terdapat dalam Catur Veda Samhita tersebut menjadikan dasar dan penguatan tentang pentingnya pelaksanaan upacara kurban atau yadnya.

Pelaksanaan yadnya begitu menonjol dalam pelaksanaan praktek kegamaan umat Hindu di Bali. Sehingga sampai saat sekarang ini masih diwarisi oleh para generasi muda Hindu.Hampir setiap gerak dan aktivitas umat hindu Bali dimanapun berada dilandasi atau diawali dengan melaksanakan yajna atau persembahan. Dasar tersebut juga dibenarkan dalam sejarah kedatangan Rsi Markandeya kebali, dijelaskan bahwa awal kedatangan Rsi Markandeya ke Bali dengan tujuan untuk mendirikan pesaraman dan menyebarkan nilai-nilai luhur ajaran Veda terhambat karena tidak melaksanakan yajna atau persembahan.Sehingga pada awal kedatangan beliau ke Bali, beliau mengalami kegagalan dan banyak pengikut beliau yang meninggal tanpa sebab musabab yang jelas. Sehingga kejadian tersebut membuat beliau mundur dan kembali kegunung Rawu (Jawa), disana beliau meminta petunjuk Dewata (Dewi Durga) mengenai penyebab dari kegagalan beliau ke Bali.Dewi Durga pun berkenan memberikan petunjuk yang inti dari Sabda beliau adalah pelaksanaan yajna, karena beliau sebelum memasuki Bali, dan merambah hutan di Bali (kawasan besakih sekarang) tidak  melakukan persembahan berupa yajna.Sehingga berkat sabda Dewi Durga tersebut kembalilah Rsi Markandeya ke Bali untuk melanjutkan maksud dan tujuannya yaitu mendirikan pasraman di Bali. Sesampainya di Bali (kawasan Besakih sekarang), beliau langsung melaksanakan upacara yajna (Mendem Pedagingan atau Panca Datu ) yaitu menanam 5 jenis logam mulia yang disertai dengan ritual-ritual lainnya dengan tujuan untu maturpiuning dan meminta keselamatan dalam melaksanakan perambahan hutan.  Setelah mengikuti petunjuk dari sabda tersebut Rsi markandeya dan semua pengikutnya berhasil menyelesaikan tugasnya dan terlindung dari bahaya. Dan tempat dari mendem pedagingan (Panca Datu) yang dilaksanakan Rsi Markandeya sampai saat ini bias kita saksikan yaitu berdirinya Pura Besakih yaitu sebagai simbul kebesaran dan keagungan Yajna yang sampai saat ini masih dijadikan sebagai pusat Ritual kegamaan oleh Umat Hindu di Bali.
            Seiring dengan dengan perkembangan jaman dan teknologi serta  budaya yang menghegemoni kebudayaan asli menyebabkan berbagai kemerosotan diberbagai bidang kehidupan manusia. Seperti nilai luhur dari konsep yajna tersebut sudah mulai luntur, yang menyebabkan mulai lunturnya nilai-nilai kesakralan tersebut adalah berbagai factor ada didalamnya misalnya : melaksanakan yajna dengan motif pamer, sebelum melaksanakan yajna umat biasanya mejugjag (ribut) mengenai pembuatan banten upakara, adat istiadat yang kaku, dengan alasan mengikuti tradisi lama yang tidak boleh dirubah, dalam areal pura mengadakan perjudian pada saat upacara berlangsung. Nah beberapa factor tersebutlahlah yang menyebabkan kesakralan dari pelaksanaan yajna menjadi berkurang, karena pelaksanaan yadnya yang seyogianya diawali dengan hati / atmanastuti suci nirmala sudah tercoreng karena hal-hal yang tidak terpuji tersebut.
            Salah satu contoh fenomena dilapangan yang penulis ambil yaitu mengenai adat istiadat yang kaku dan monoton menyebabkan seakan-akan menggambarkan bahwa agama Hindu adalah agama yang kaku dan boros, hal tersebut dibuktikan dengan berbagai pertanyaan yang kerap muncul dilapangan seperti pada saat kunjungan kami selaku penyuluh Provinsi Sulawesi Tengah kesuatu daerah, disana kami (penulis) melakukan pembinaan umat melalui dharma wacana yang diikuti dharma tula. Pada Saat dharma Tula ada statemen umat begini : Pak, apakah agama Hindu hanya untuk orang yang punya duit saja? Pak kalo disini umat Hindu yang beralih keagama lain sepertinya tidak menjadi beban dan enjoy aja kelihatannya, tapi kalo umat non Hindu yang mau masuk Agama Hindu malahan dipersulit dalam berbagai hal, misalnya mempertanyakan masalah penanjung batu, apa dia bias mebanten, mesegeh, nyait dan bias mengikuti sima disini? apakah agama Hindu mengajarkan adat yang keras begitu?Bagaimana sebetulnya inti dari pelaksanaan yadnya tersebut?
            Ini adalah suatu penomena yang harus dicermati oleh tokoh-tokoh agama, kenapa bisa terjadi hal yang sedemikian dilapangan, adat adalah suatu kebiasaan yang disepakati oleh masyrakat setempat yang tujuannya untuk menopang dari pada pelaksanaan atau praktek keagamaan dalam agama Hindu.Adat merupakan pemersatu dari umat Hindu dalam kehidupan sosial kegamaan, dan membentuk suatu kerjasama yang solid.Tetapi adat yang sebetulnya memiliki nilai positif sebagai pemersatu tetapi memberatkan umat Hindu dalam mewujudkan Bhkatinya kepada Tuhan. Adat menyebabkan agama Hindu menjadi kaku, dan tidak boleh dibengkokkan, adat seyogianya memuat aturan (aweg) yang berdasarkan atas sastra atau konsep Hindu yang pleksibel.Akibat dari adat yang kaku menyebabkan Umat Hindu menjadi terbebani dalam melaksanakan aktivitas keagamaan, aweg adat harusnya sesuai dengan desa, kala, dan patra, Desa adalah tempat, kala adalah waktu, sedangkan patra adalah sastra agama. Kebanyakan adat didesa adat atau desa pakraman tersebut hanya didasarkan pada desa dan kala
Dan mengabaikan yang namanya sastra agama yang menjadi inti dari pada segala bentuk aktifitas kegamaan. Jika aweg atau adat yang tidak mencerminkan nilai sastra agama dan lebih banyak motif kepentingan yang masuk didalamnya maka pelaksanaan yadnya atau ritual tersebut banyak yang didasarkan atas ketidak iklasan dan rasa menggerutu dalam hati. Ini kan sudah keluar dari pada Nilai dan tujuan yajna sebenarnya, Sehingga jangan heran kalo agama Hindu sendiri akan meninggalkan agama Hindu karena adat yang keras tersebut, adat tersebut adalah kesepakatan yang memberikan manfaat sebenarnya, adat itu kalau diibaratkan sebagai baju, kalo baju pada saat usia masih kecil masih kita gunakan pada usia yang sudah dewasa kan sudah tidak pas lagi, membuat sipemakai baju tidak nyaman, maka buatlah kesepakatan yang membuat kenyamanan dalam adat itu. Jika hal ini terus berlanjut saya takut nanti agama Hindu pelan-pelan akan ditinggalkan oleh umatnya karena adat lebih banyak motif kepentingannya disana.Sehingga Jangan heran kalo banyak pertanyaan seperti diatas yang muncul, agama Hindu katanya agama untuk orang kaya, kalo saya yang miskin tidak bisa dong menjadi agama Hindu yang baik?
            Melalui kesempatan ini penulis ingin menyampaikan keprihatinan pribadi atas apa yang dialami umat Hindu diluar sana, yang menyedihkan juga jika ada Umat yang menikah misalnya dan mereka masuk agama Hindu, disini mereka mengatakan bahwa mereka dipersulit dengan berbagai hal, maslah penanjung batu, bisa nyait, menyamo brayo, metanding, mesegeh dan lainnya, cobalah kita buka paradigm pola piker kita yang kaku, kita sebenarnya merangkul bagi mereka yang tidak tau, berikan dia kemudahan-kemudahan agar mereka yakin bahwa memang benar agama Hindu itu fleksibel…Hal tersebutlah yang tidak disadari oleh umat bahwa penerapan sistim adat yang kaku akan mengurangi jumlah pemeluk Hindu secara berjenjang. Maka dari itu saya mengajak umat Hindu dimanapun berada agar penerapan sistim adat tersebut haruslah disesuaikan dengan sifat-sifat agama Hindu yaitu fleksibel dan relevan sepanjang jaman.Disamping masalah adat yang kaku tersebut hal yang perlu menjadi perhatian oleh umat Hindu dimanapun berada bahwa pada saat pelaksanaan upacara yadnya baik piodalan ataupun yang lainnya jangan mengadakan perjudian diareal Pura, coba kita mengambil contoh cara umat lain bagaimana mereka begitu khusuknya dalam pelaksanaan sembahyang, sholat 5 waktu, dengan tertib. Tapi umat Hindu pada saat pelaksanaan upacara piodalan di pura mengadakan perjudian, apakah kita sadar dengan hal demikian?atau tidak paham dengan makna sakral? Hal tersebut sudah jelaslah dapat mengurangi kesakralan pura dan upakaranya.yadnya yang begitu besar dapat dinodai oleh oknum-oknum yang tidak bertabggung jawab, tidak ada pibrasi kesucian yang kita dapatkan jika kejadian tersebut terus terjadi. Maka dari itu saya penulis ingin mengajak umat hindu di manapun berada dan disulawsi tengah pelan-pelan kita buka pola pikir kita, kenapa membuat sesuatu yang dapat merugikan kita sebagai umat Hindu. Kita harus memulainya dari kesadaran diri sendiri, kalo mau berubah, kita pasti bisa merubah kebiasaan buruk tersebut.
            Semoga Tulisan ini bermanfaat bagi pembaca, khususnya umat hindu di Kota Palu.
I Wayan Budiagus Putrayasa, S.Sos.H Penyuluh Agama Kementerian Agama  Prov Sulteng

Tidak ada komentar:

Posting Komentar